SERAMBINEWS.COM, TAKENGON – Pesona batu giok di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, mulai menurun. Batu yang pernah menjadi incaran hampir semua kalangan di kota dingin itu, kini nyaris lenyap dari peredaran. Pembahasan soal batu giok tak lagi sehangat seperti beberapa bulan lalu.
Booming batu cincin itu, hanya berlangsung beberapa bulan saja dan akhirnya kembali redup. Tak ada lagi terdengar cerita tentang batu giok di warung-warung kopi, kompleks perkantoran, sekolah bahkan di pasar-pasar seperti yang pernah berlaku sebelumnya.
Mewabahnya batu giok di kalangan masyarakat tak berumur panjang. Padahal, sebagian masyarakat sempat mengubah “kiblat” usahanya dari petani menjadi pemburu batu giok. Berhari-hari menapaki pegunungan, melintasi sungai serta membelah belantara, hanya untuk mendapatkan bongkahan batu giok.
Bukan hanya itu, ketenaran batu giok, membuat para pengrajin batu cincin, pembelah batu, penjual gagang cincin, bahkan toko-toko mas ketiban rezeki, karena banyaknya orderan.
Untuk membuat satu mata cincin, butuh waktu hampir seminggu. Demikian juga untuk menempa gagang cincin yang bisa sampai berbulan-bulan.
Di sisi lain, suara raungan mesin pembelah batu dan mesin pembuat batu cincin, terdengar hampir di setiap sudut Kota Takengon ketika itu. Toko-toko penjual batu serta pedagang gagang cincin, setiap hari disesaki warga. Tapi, perburuan massal batu yang bernilai mulai
ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah itu, berangsur sepi
ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah itu, berangsur sepi
Kini, suara raungan mesin-mesin itu, nyaris tak lagi terdengar. Toko penjual gagang cincin pun mulai sepi dari pembeli. Bahkan, sebagian terpaksa gulung tikar karena peminat batu cincin yang turun drastis.
“Ada juga yang masih bertahan menggeluti bisnis batu giok, tapi nggak seramai dulu lagi,” kata Heri Novandi, salah seorang pengrajin batu cincin di Kota Takengon, kepada Serambinews.com, Sabtu (8/8/2015).
Menurunnya minat berburu batu giok, bukan hanya terjadi di kalangan konsumen. Tetapi warga yang sebelumnya, sempat “banting setir” menjadi pencari batu, kini sebagian telah kembali ke habitat semula menjadi petani dan fokus berkebun kopi. Pasalnya, disamping sulit untuk mendapatkan batu berkualitas, jarak tempuh untuk mencapai lokasi keberadaan batu tersebut semakin jauh.
Apalagi, toke-toke batu yang biasanya seliweran di daerah “penghasil” batu giok seperti di Kampung Pantan Reduk, Gemboyah, Kecamatan Linge dan di Jagong Jeget, Kecamatan Jagong Jeget, tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. “Sepi sekarang bang. Apalagi toke juga nggak pernah datang kemari. Makanya untuk sementara istirahat dulu nyari batu,”
kata Abubakar, warga Kampung Pantan Reduk, Kecamatan Linge.
kata Abubakar, warga Kampung Pantan Reduk, Kecamatan Linge.
Menurut Abubakar, meski gaung batu giok tak sekeras tahun lalu, namun pencarian batu yang dijadikan perhiasan ini, tak lantas mati. Tapi masih tetap saja ada warga yang mencari batu tersebut. “Kalau kami nggak pernah lagi. Tapi ada juga sesekali, orang dari luar mencari batu di daerah ini. Kalau demam batu kembali bangkit, mungkin kami akan
pergi nyari lagi,” ujarnya. (*)
pergi nyari lagi,” ujarnya. (*)