BREAKING

Refleksi Komunikasi Islam, Penebangan Liar, dan Hikmah Bencana Alam

 

Membaca Pesan Ilahi di Balik Banjir

Oleh: Ismuhar, M.Sos
Dosen UIN Sultanah Nahrasiyah


Banjir yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia seharusnya tidak lagi dipahami sekadar sebagai musibah tahunan akibat curah hujan tinggi. Jika dicermati lebih dalam, banjir merupakan peristiwa ekologis yang sarat pesan moral dan spiritual. Ia adalah cermin dari relasi manusia dengan alam yang kian timpang, sekaligus peringatan atas cara manusia memperlakukan lingkungan secara serampangan.

Dalam perspektif Islam, alam bukanlah objek mati yang boleh dieksploitasi tanpa batas. Alam adalah ayat kauniyah, tanda-tanda kebesaran Allah yang berbicara kepada manusia melalui peristiwa-peristiwa alam. Al-Qur’an menegaskan bahwa di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir (QS. Adz-Dzariyat: 20). Dengan demikian, banjir dapat dibaca sebagai bentuk komunikasi Ilahi yang mengajak manusia untuk merenung dan memperbaiki diri.

Sayangnya, pesan ini sering tereduksi menjadi sekadar wacana takdir. Banjir dianggap sebagai kehendak Tuhan semata, tanpa keberanian mengakui peran besar manusia di balik kerusakan lingkungan. Padahal Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut muncul akibat ulah tangan manusia (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini menempatkan manusia sebagai aktor utama, bukan korban pasif.

Salah satu faktor krusial penyebab banjir adalah maraknya penebangan pohon secara liar. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga ekosistem justru habis oleh pembalakan ilegal dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Ketika hutan gundul, daya serap air menurun drastis, sungai meluap, dan banjir menjadi keniscayaan.

Dalam ajaran Islam, tindakan merusak lingkungan tidak pernah dianggap remeh. Nabi Muhammad SAW bahkan memberikan peringatan keras terhadap penebangan pohon tanpa alasan yang dibenarkan. Ini menegaskan bahwa perusakan alam bukan hanya persoalan teknis atau hukum negara, melainkan juga persoalan moral dan spiritual. Dengan kata lain, banjir adalah “konsekuensi etis” dari ketidaktaatan manusia terhadap amanah menjaga bumi.

Namun demikian, Islam tidak memandang bencana hanya sebagai hukuman. Bencana juga mengandung hikmah. Secara spiritual, banjir menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan menumbuhkan kembali kesadaran ketergantungan kepada Allah. Di tengah air yang meluap, teknologi dan kekuatan manusia terbukti rapuh. Kesadaran ini semestinya melahirkan kerendahan hati dan tanggung jawab moral.

Secara sosial, banjir kerap memunculkan solidaritas yang luar biasa. Di tengah penderitaan, sekat-sekat sosial dan identitas mencair. Masyarakat saling membantu tanpa bertanya latar belakang. Inilah wajah kemanusiaan yang sejati, nilai yang sejalan dengan prinsip rahmah dan ukhuwah insaniyah dalam Islam.

Secara ekologis, banjir seharusnya menjadi momentum refleksi kolektif. Diskusi publik tentang hutan, tata ruang, dan kebijakan lingkungan sering kali muncul justru setelah bencana terjadi. Sayangnya, refleksi ini sering bersifat sesaat dan menguap ketika air surut. Di sinilah peran komunikasi Islam menjadi sangat penting.

Komunikasi Islam menekankan etika, kebenaran, dan keberpihakan pada kemaslahatan. Di tengah banjir informasi, hoaks, dan politisasi bencana, Islam mengajarkan prinsip tabayyun—memeriksa dan memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Narasi publik seharusnya diarahkan pada solusi, bukan saling menyalahkan.

Lebih jauh, dakwah Islam perlu bergerak ke arah dakwah ekologis. Menjaga lingkungan bukan isu pinggiran, melainkan bagian dari iman dan amanah kekhalifahan manusia di bumi. Ulama, pendakwah, dan akademisi memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan pentingnya menjaga hutan, menolak penebangan liar, dan mengawal kebijakan lingkungan yang berkeadilan.

Advokasi terhadap lingkungan hidup juga merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Kritik terhadap praktik perusakan alam harus dilakukan secara konsisten, berbasis ilmu, dan berorientasi pada perbaikan. Tanpa keberanian bersuara, bencana akan terus berulang dengan korban yang semakin besar.

Pada akhirnya, banjir adalah pesan. Ia berbicara tentang relasi manusia dengan alam, tentang keserakahan yang tak terkendali, dan tentang peringatan Ilahi yang kerap diabaikan. Pertanyaannya bukan lagi mengapa banjir terjadi, melainkan apakah kita bersedia mendengar dan merespons pesan tersebut dengan perubahan nyata.

Jika komunikasi Islam mampu menghadirkan narasi yang mencerahkan, empatik, dan solutif, maka umat tidak hanya menjadi korban bencana, tetapi juga agen pemulihan lingkungan. Menjaga bumi bukan sekadar kewajiban ekologis, melainkan ibadah yang menentukan masa depan manusia itu sendiri.


 
Copyright © 2016 Radio CitisFm lhokseumawe Aceh