BREAKING

Farhan Hamid: Langkah Gegabah Lakukan Judicial Review UUPA

citisfm-Farhan Hamid: Langkah Gegabah Lakukan Judicial Review UUPA
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI periode 2004-2009, Ahmad Farhan Hamid, menilai langkah yang sangat gegabah melakukan judicial review (JR) terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebelum dilakukan uji publik.
"Jika ada yang mau melakukan JR UUPA hendaknya terlebih dahulu dibahas terbuka dengan masyarakat. Terutama masyarakat akademik," kata Farhan Hamid menanggapi wacana JR UUPA, Sabtu (1/8) di Jakarta.
Wacana JR itu dihembuskan pengacara senior Mukhlis Mukhtar di Banda Aceh, terkait dengan melemahnya sistem penegakan hukum di Aceh. Menurutnya yang menjadi pangkal soal adalah penempatan posisi Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh yang harus mendapatan rekomendasi Gubernur Aceh.
Ketentuan yang mengatur adanya rekomendasi tersebut diatur dalam Pasal 204 dan 208 Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Mukhlis Mukhtar minta Pemerintah Aceh melakukan judicial review (hak uji materil) terhadap dua pasal tersebut. Alasannya dua pasal itu sangat mengganggu penegakan hukum di Aceh.
Mukhlis menunjuk sejumlah contoh kasus terkait politik yang dilapor masyarakat, tapi pada akhirnya posisi kasus tidak jelas. Begitu juga, ketika perkara yang ditangani mengarah kepada kepala daerah atau pejabat tinggi, penanganan kasus terkesan diperlambat. “Kalau kita cinta kepada Aceh, kita perlu mengawasinya, sehingga politik kekerasan tidak berulang,” demikian alasan Mukhlis.
Sebaliknya Farhan Hamid yang juga mantan anggota Pansus RUUPADPR RI mengaku kaget dengan wacana tersebut karena alasannya tidak rasional.
Menurutnya penegakan hukum tidak ada hubungan dengan peran konsultasi dengan gubernur. Baik polisi maupun kejaksaan merupakan kelembagaan yang tidak di otonomkan, sifatnya nasional dan kepemimpinan terpusat. Peran dan fungsi keduanya diatur dalam konstitusi dan undang-undang tersendiri.
"Peran konsultasi dengan gubernur Aceh lebih kepada saling kroscek terhadap rekam jejak calon Kapolda dan Kajati terutama komitmen dalam kaitan penerapan syariat Islam," tukas Farhan Hamid.
Disebutkan, kalau benar penegakan hukum di Aceh lemah, bisa dievaluasi oleh pimpinan institusinya. Kepolisian dan Kejaksaan merupakan institusi vertikal yang diatur dengan undang-undang tersendiri. "Konsultasi hanya diperlukan saat pengangkatan, tapi bukan saat pemberhentian Kapolda atau Kajati," lanjutnya.
Ia menambahkan, kalau ada hal yg masih kurang dalam penegakan hukum di Aceh, hendaknya anggota DPR RI dan DPD RI dapat melakukan pengawasan dan mendorong Kapolri dan Jaksa Agung memerintahkan bawahannya di Aceh melaksanakan tugas dengan baik.
"Bukan sebaliknya mengubrak-abrik UU kekhususan. Seperti kurang kerjaan saja. Saya berharap kepada siapapun, agar tidak mengambil langkah-langkah aneh yang akan disesali sepanjang masa dan dikutuk masyarakat Aceh," demikian Farhan Hamid.(fik)
 
Copyright © 2016 Radio CitisFm lhokseumawe Aceh